Tuesday, April 24, 2012

dibalik sebuah nama


            Awan Senja adalah nama ku, aku seorang yatim piatu saat umurku belum genap 13 tahun. Sejak kematian kedua orang tua ku aku dan adik ku diasuh oleh pamanku. Paman ku ini adalah seorang pagawai negeri, dia tinggal di rumah sederhana dengan istri dan satu orang anak perempuannya. Tak banyak cerita disini karena tiap hari yang ku lalui disini hanyalah menatap sore, menggambarnya dan berharap mendapatkannya. Bertemu dengan paman dan bibi yang merawatku pun aku jarang, hanya Linda anak paman yang sesekali mampir di kamarku hanya untuk melihat-lihat lukisanku. Aku dan Linda seusia namun dia malah lebih dekat dengan adikku yang masih berusia 10 tahun.
            Setelah lulus sma aku memutuskan keluar dari rumah ini dan meninggalkan adikku, bukan karena paman dan bibi yang memberiku rasa tidak nyaman tapi karena aku ingin menggapai mimpiku, mimpi yang tidak mungkin ku gantungkan pada paman yang hanya seorang pegawai negeri dengan gaji yang tidak banyak untuk membiayai 2 orang kuliah. Aku keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuan siapapun bukan tanpa alasan paman selalu memaksaku untuk melanjutkan kuliah tapi aku tahu apabila aku menerima tawarannya maka akan betambah berat saja beban pria yang semakin menua ini.
            Perjalanan berat ini pun dimulai, ini terakhir kalinya aku menaikan selimut dan mematikan lampu kamarmu, hanya itu pesan terakhir yang ku tinggalkan untuk adikku. dengan bekal tabungan seadanya dan ratusan bahkan ribuan rasa bersalah aku mulai langkah ku. rumah kost yang telah ku sewa sebelumnya pun menjadi tempat awal yang ku tuju, kamar kost yang hanya berisi sebuah kasur kecil dan sebuah meja didalamnya. Hanya ruang ini yang dapat ku sewa dengan lebih dari separuh tabungan ku. aku berharap malam ini dapat memejamkan mata disini agar esok aku dapat berkeliling untuk mencari kerja.
            Mentari pun tiba, ini pagi pertama ku tapi tidak ada bedanya dengan pagi-pagi biasanya karena sejak ayah dan ibu meninggal hari-hariku memang selalu sepi dan pagi ini pun tidak membuatku lebih baik. Tak semudah perkiraan ku 10 tempat desaint yang sebelumnya telah ku pelajari latarbelakangnya semua menolakku untuk bekerja disana. Aku rasa cukup untuk hari ini karena dengan semakin banyak tempat yang ku tuju maka akan semakin banyak rupiah yang terbuang aku harus pintar-pintar mengelola sisa uang tabungan yang ku kumpulkan saat aku sma ini. Hari ini pun kututup dengan senyum adikku yang hanya dapat ku lihat tergambar diselembar kertas.
            Pagi kedua pun tiba ide cemerlang ku dapatkan pagi ini, bergegas ku membeli koran dan halam lowongan lah yang pertama ku baca, aku mulai mencari dan mencari , ku mulai dari pekerjaan yang ku rasa cocok lalu melihat nomor telphon yang provaidernya sama dengan yang ku gunakan berharap dapat sedikit berhemat dengan itu. Warnet pun mejadi tempat kedua yang ku sambangi hari ini, disana aku dapat mencari lowongan kerja dan mulai membuat surat lamaran. Hari-hari ku selanjutanya berlalu seperti itu saja terus, terus dan terus sampai aku sadar saat uangku tak lagi cukup untuk membeli koran, pulsa dan sewa internet kalau hanya menunggu surat lamaran ku mendapat tanggapan aku akan kehabisan segalanya.

            Tiba dihari ketujuh dan uang yang tersisah hanya untuk satu kali makan saja.
“aku mulai ragu kalau ini akan berhasil dan semangat ini pun mulai runtuh”,
“ tidak mimpiku tak boleh terhenti hanya karena uang”,
“ tapi didunia ini uanglah yang menjadi Tuhan”.
Tak banyak yang ku lakukan hari ini hanya berbaring sambil menahan lapar dengan bayang-banyang kata menyerah dan melawan atau malah berdamai dengan semuanya. Lamunanku pun berakhir saat perut ini mulai mengeluarkan suara-suara aneh dari pagi setetes air pun belum membahasahi lambungku dan sekarang sudah mulai gelap. Aku tidak ingin berjalanan ini bertambah berat apabila lambungku tidak lagi bersahat. Dan  Ku putuskan uang terakhir ini untuk makan.
“mas makan ?” yang penjaga wateg bertanya.
“iya bu”,  jawab ku.
“seperti biasa mas ?”. tanyanya kembai, Karena menu makan ku hanya itu saja setiap harinya ibu itu pun sampai hapal.
“nggak bu, pakek tempe aja minumnya air putih ya bu”, “wah kirimannya telat ya mas” jawab ibu itu sambil tertawa kecil karena berubahnya menu makan ku, ibu itu memang sangat ramah kepada setiap pelanggannya dan dia memiliki selera humor yang tinggi itu alasanku sering makan disini karena canda dari ibu itu dapat sedikit mengembalikan semagatku. Nasi dipiringku pun telah habis lalu aku meninggalkan tempat makan itu dan kembali untuk memejamkan mata, kepala ku terasa pusing mungkin karena terlambat makan tadi.
            Pagi pun tiba kembali, hari ini cerah tapi tetap sepi dan bertambah parah saat ku sadari tak lagi ada sisa uang. Tidak ada yang ku lakukan pagi ini hanya diam dan menatap keluar jendela, lalu akan ku coba peruntunganku siang ini bergegas ku menuju warteg tempat ku semalam mengisi perut. Namun seperti yang ku perkiraan penolakan yang ku dapat siang ini. Sampai saat malam pun tiba, malam dimana belas kasih yang menolongku, saat aku menawarkan handphone yang ku punya untuk menukarnya dengan seporsi makan, ibu pemilik warung makan itu pun merasa iba pada ku dan memberikan ku pekerjaan.
            Tidak mudah memang tapi dengan niat dfan tekad yang keras ku lalui semua, hari demi hari bulan demi bulan hingga uang yang ku kumpulkan cukup untuk mengikuti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negri, sampai akhirnya aku terterima disalah satu unversitas dikota ini. Tak berhenti disitu berjuangan ku biaya kuliah yang amat beras tidak akan mampu ku tanggung bila hanya mengandalkan uang gaji ku, aku pun mencari beasiswa meluangkan waktu untuk mencari pekerjaan sampaingan lainnya. Salam berkuliah hanya itu yang ku lakukan mengumpulkan rupiah, rupiah dan rupiah.
            Tak terasa 4 tahun telah ku lalui tanpa sekali pun aku bertemu mereka, hari ini aku mengunjungi rumah paman untuk menyampaikan kalau esok gelar sarjana seni akan ku dapatkan. Hari itu rumah sepi karena hari minggu dan di rumah hanya ada paman dan bibi sedangkan Linda dan Fajar adik ku selalu menghabiskan hari minggu bersama itu yang kudengar dari paman saat aku menanyakan mereka.
           Setelah lulus kuliah dan bekerja ini lah pertama kalinya pagi ku berbeda, saat ini baru ku mengerti apa arti di balik nama ku. pelindung sebelum masa kegelapan sebelumnya aku tak paham maksud dari kata itu, tapi saat Fajar aku kembali tinggal dengan Fajar, aku tahu kalau aku lah yang akan menjadi pelindung Fajar "masa setelah kegelapan" yang di titipkan ayah dan ibu.

Tuesday, April 3, 2012

Ayah

Masa kecilku terasa indah saat aku menyadari aku memilikinya.
Pria dewasa yang membuatku memiliki banyak kesempatan yang tidak dia punya di masa kecilnya.
Ayah membuatku mendapatkan tempat istimewa di tengah keramaian yaitu di pundaknya.
Ayah Bisa menghentikan membaca koran pagi di hari minggu saat aku ingin bercanda.
Ayah mau mengganti acara tinju kesukaannya demi kartun favoritku.
Ayah tidak pernah lupa membayar spp sekolah kami tiap semesternya walau kami tidak mengingatkannya, tidak sedikitpun ayah merasa terbebani walau kadang aku berpikir seberapa berat beban yang harus ia pikul.
Ayah selalu bilang pulang lah saat ibu mengatakan jangan pulang.
Ayah akan memilih meninggalkan kami untuk pekerjaannya walau berlibur besama keluarga jauh lebih menyenangkan.
Ayah mungkin tampak galak dimata teman-teman ku tapi Ayah tetap sosok yg menyenangkan bagi ku.
Ayah tidak ikut marah saat ibu menemukan puntung rokok di saku sekolah ku tapi dengan sabar ia menasehati ku.
Mungkin ayah selalu meninggalkan ku untuk bekerja tapi aku tau di sela-sela kesempatannya dia selalu menanyakan keadaan anak-anaknya pada ibu.
Mungkin ayah tidak pernah bilang "awas nanti jatuh" seperti yang sering ibu bilang, karna aku tau ayah yakin anak laki-lakinya bisa.
Mungkin ayah tidak seperti ibu yang bilang "keuangan kita sedang sulit" saat aku meminta sesuatu tapi ayah akan bilang dengan tegas "IYA tapi tidak sekarang".
Ayah kau mengajarkan ku arti kejujuran.
Ayah kau mengajarkan ku arti kerja keras.
Teriakmu tidak hanya membuat bising telinga ku tapi meresap hingga kedalam rongga hati.
Ocehanmu tidak menyakitkan hati tapi menyembuhkan semangat yang kadang patah.
Nasehatmu membuatku menemukan jalan terang bukan malah menyesatkan.
Motivasi darimu buat napas baru di hidup ku bukan malah menyesakkan paru-paru ku.

Engkau membuat mudah jalan yang sulit ku lalui,
Engkau membuat ringan beban yang ku pikul,

terimakasih ayah !

Jakarta

Hari ini tidak ku melangkah apalagi berlari, sedikit pun tak berucap apalagi teriak, lalu apa yang ku lakukan !
"Sakit ?" Tidak, "Tidur ?" Bukan, "lalu apa ?"
Aku menjalankan kereta tanpa penumpang, Menjadi buku tanpa ada tempat lagi untuk coretan, Menjadi pena tanpa tinta, dan mencoba berhitung menggunakan otak kanan." apa yang kau bicarakan ini ?, aku tidak mengerti ?"
Apa Tuhan sudah tidak mampu lagi menampung semua doa ? Ini salah siapa ? terlalu banyak kah doa, atau terlalu sengsarakah kita ? Aku tidak meminta surga aku hanya mengharapkan kedatangan Malaikat Mikail, itu pun kalau Ia tidak lupa akan Tugasnya membagikan rezeki, perahu ini butuh dayung untuk mengayuh, anak ini butuh susu untuk tetap hidup, ternak ini juga butuh rumput untuk makan, bahkan ilalang di luar sana butuh air untuk tetap hijau." sekarang kau membuatku tambah pusing, sudah katakan saja apa maksud perkataanmu ini ?".
Puncaknya harus membunuh agar tak  terbunuh, menginjak atau terinjak, mengalahkan agar tak terkalahkan, tidak lagi meminta tapi merebut, tidak lagi diam tapi berteriak agar dapat terdengar.

Sedikit pengalaman yang ku dapat dari Jakarta,klo kita tidak pintar ini yang terjadi sebuah proses menuju kehancuran.
Terdiam sambil berpikir yang telah dilakukan lalu merasa yang di lakukan tidak berguna karna merasa tidak berguna mencoba mengadu kepada Sang pencipta dan saat tidak ada jawaban/kurang sabar timbullah KEBRUTALAN,

TERIMAKASIH

Tidak ku harapkan sebuah kado ada di depan pintu rumahku, apalagi kue taar yg menandakan ini hari ulang tahunku.
aku juga tidak berharap kalian ingat akan ulang tahun ku.
aku tidak berharap kalian mengucapkan "selamat ulang tahun" pada ku karna aku anggap itu sebuah ucapan yang mengingatkanku pada "kematian".
19tahun bukan umur yang tepat buat meminta dengan Mu.
aku hanya ingin apa yang Kau ingin berikan.
terimakasih Tuhan tetap biarkan aku ada di dunia Mu.
terimakasih mama udah mau pinjamkan rahim mu 19tahun lalu.
terimakasih papa untuk tiap daging dan tulang yg ada di tubuh ini.
terimakasih semua untuk ucapan dan doanya